Oleh :
Rini Irianti Sundary
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Hak atas pekerjaan merupakan hak asasi manusia, karena seperti yang dikatakan oleh John Locke1 bahwa kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktivitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau dipikirkan lepas dari tubuh manusia. Tubuh adalah milik kodrati atau asasi setiap orang, karenanya tidak bisa dicabut, dirampas atau diambil darinya, maka pada hakekatnya kerjapun tidak bisa dicabut, diambil atau dirampas. Seperti halnya tubuh dan kehidupan merupakan salah satu hak asasi manusia, maka kerjapun merupakan salah satu hak asasi manusia. Bersama dengan hak atas hidup, hak atas kerja dimiliki oleh manusia karena dia adalah manusia. Bekerja juga merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannyayang lebih manusiawi, melalui kerja manusia menjadi manusia, melalui kerja manusia menemukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.2 Hak pekerja dan hak atas pekerjaan merupakan topik yang perlu dan relevan untuk dibicarakan dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia. Penghargaan dan jaminan terhadap hak pekerja merupakan salah satu prinsip keadilan dalam hukum ketenagakerjaan.Dalam hal ini keadilan menuntut agar semua pekerja diperlakukan sesuai dengan haknya masing- masing, baik sebagai pekerja maupun sebagai manusia, mereka tidak boleh dirugikan dan harus diperlakukan sama tanpa diskriminasi yang tidak rasional. Jaminan atas hak pekerja pada akhirnya berpengaruh langsung secara positif atas sikap, komitmen, loyalitas, produktivitas dan akhirnya kinerja setiap pekerja. Pengakuan, penghargaan dan jaminan atas hak pekerja semakin disadari merupakan faktor yang menentukan kelangsungan dan keberhasilan suatu usaha/perusahaan, sebaliknya pelanggaran atas hak-hak pekerja dapat membuat para pekerja tidak betah, tidak atau kurang disiplin, kurang atau tidak memiliki komitmen serta kurang atau tidak loyal kepada lembaga tempat dia bekerja. Demikian pentingnya hak atas pekerjaan ini sehingga dicantumkan dengan tegas dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan“.Ketentuan tersebut mengandung prinsip bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan serta kemampuannya, dan bagi setiap pekerjaan harus dapat memperoleh imbalan yang cukup untuk keperluan hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarganya”. Uraian di atas hendak menunjukkan betapa pentingnya jaminan terhadap hak – hak para pekerja dalam kelangsungan suatu usaha. Jaminan hak pekerja tersebut merupakan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhinya. Namum hlm161 2 A.sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan Dan Relevansinya, Kanisius, Jakarta, 2002, demikian, bukan berarti pekerja tidak memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Sebagai bagian integral dari perusahaan, para pekerja memiliki kewajiban dan kepedulian sosial terhadap keberlangsungan perusahaan. Dalam hal ini terdapat prinsip-prinsip etika kerja dalam menjalankan pekerjaan yang harus dijadikan pedoman oleh para pekerja dalam upaya menjaga ketertiban dan keteraturan. Maka dalam hal ini perlu diperhatikan nilai-nilai dan makna kerja yang hakiki agar para pekerja menyadari bahwa dalam suatu sistem kerja yang baik semua orang dibiarkan dan diberi peluang untuk berusaha dan melakukan apa saja yang dianggapnya baik, tetapi tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain atau hak dan kepentingan perusahaan atau organisasi dimana dia mengabdikan diri. PEMBAHASAN 1. Pengertian Etika Istilah etika sering dibandingkan dengan moralitas, etika dan moralitas sering dipertukarkan atau diberikan pengertian yang sama. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, hanya saja perlu diperhatikan bahwa etika bisa memiliki pengertian yang sangat berbeda dengan moralitas.3 Secara teoritis, pengertian etika dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu ; pertama, dari segi bahasa, etika berasal dari kata Yunani ethos , dalam bentuk jamaknya ( ta etha) yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri sendiri maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang kepada orang lain atau dari suatu generasi ke generasi lain. Kebiasaan tersebut terungkap dalm perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan. Sebuah kebiasaan yang baik pada umumnya membentuk sistem nilai, kemudian diturunkan dan diwariskan melalui agama dan kebudayaan dalam bentuk peraturan atau norma yang diharapkan menjadi pegangan setiap penganut agama atau kebudayaan tersebut.Disini, etika dan moralitas memberi petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara 3 A. Sonny Keraf, ibid, hlm.13 baik sebagai manusia, etika tersebut disalurkan melalui agama atau kebudayaan tertentu, sebagai contoh semua agama mengutuk pemerkosaan, pembunuhan, penindasan dan lain-lainnya. Pengertian ke dua, pengertian yang membedakan antara etika dan moralitas. Dalam pengertian yang kedua ini, etika lebih luas dari moralitas dan pengertian etika yang pertama. Etika disini difahami sebagai filsafat moral atau ilmu yang membahas nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertia pertama. Dengan kata lain, etika dalam pengertian pertama, seperti halnya moralitas, berisikan nilai dan norma- norma konkrit yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam keseluruhan kehidupannya, seperti adanya perintah dan larangan yang bersifat konkrit sehingga sifatnya lebih normatif. Adapun etika dalam pengertian ke dua tidak langsung memberi perintah konkrit. Pengertian etika yang kedua ini merupakan filsafat moral yang menekankan pada pendekatan kritis dalam memandang dan mendalami nilai- nilai dan norma moral serta permasalahan moral yang timbul dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Etika merupakan refleksi kritis terhadap moralitas, karena itu etika tidak bermaksud membuat manusia bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja. Pada akhirnya, memang etika mengharapkan orang bertindak sesuai dengan nilai dan norma moral yang berlaku, tetapi kesesuaian itu bukan semata-mata diperintahkan oleh moralitas, melainkan karena kesadaran bahwa hal itu memang baik bagi dirinya dan orang lain. Ia sadar secara kritis dan rasional bahwa ia memang sepantasnya bertindak seperti itu.4 2. Pengertian Etika Kerja Pengertian Etika Kerja Menurut Konsep Islam Ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sebagai pedoman yang bersifat universal, menggariskan norma-norma etika dalam bekerja dan berusaha sebagai berikut :5 4Immanuel Kant, Foundation Of The Metaphysics Of Moral seperti dikutip dari Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta, Kanisius, 2002,hlm,14 Menurut Immanuel Kant, etika berusaha menggugah kesadarn manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom, etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung jawabkan. Kebebasan dan tanggung jawab adalah unsur pokok dari otonomi moral yang merupakan salah satu prinsip utama moralitas, 5 H.Rusydi, AM, Etos Kerja dan Etika Usaha , Perspektif Al Qur’an, Dalam Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam, Nuansa Madani, Jakarta, 1999, hlm.100 a. Niat yang baik, karena niat sangat menentukan terhadap nilai suatu kerja, maka niat harus betul-betul tulus dan ikhlas. Maksudnya niat bekerja harus didasarkan “karena Allah”. Bila niat ditujukan karena Allah, maka akan memiliki dimensi ibadah, yang tentunya akan mendapat imbalan pahala dari Allah SWT, di samping imbalan materi sebagai hasil kerjanya. Dalam kaitan dengan niat yang baik ini ada sabda Rasulullah S,A.W : “Sesungguhnya seluruh amal (pekerjaan) itu tergantung pada niatnya” ( H.R Bukhari- Muslim), maksudnya miat itu adalah kunci dalam bekerja dan berusaha” b. Tidak melalaikan kewajibannya kepada Allah SWT. Sebagai makhluk Tuhan yang diberikan kesempurnaan ciptaan, manusia mempunyai seperangkat kewajiban kepada Allah SWT dalam bentuk ibadah, sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan manusia tidak sampai melalaikan ibadah kepada Allah. Hal ini sejalan dengan seruan Allah dalam Al Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk menunaikan Shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” ( Q.S Al Jumu’ah ayat 9 ). Ayat tersebut menegaskan betapa pentingnya pelaksanaan Sholat Jumat dibanding aktivitas usaha. Bila adzan berkumandang maka aktivitas jual beli dan pekerjaan lainnya harus dihentikan untuk sementara. Hal ini berarti bahwa dalam bekerja, selalu mengindahkan norma-norma yang telah digariskan Allah SWT, batas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dikerjakan. c. Suka sama suka antara pihak-pihak yang bersangkutan. Etika ini didasarkan pada firman Allah dalam Al Qur’an , Surat An,-Nisa (4 :29) yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta bersamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang padamu.” Etika suka sama suka ini merupakan satu isyarat bahwa betapa pentingnya hubungan yang harmonis antara pedagang dengan pembeli, antara produsen dengan konsumen, antara buruh dengan majikan dan antara bawahan dengan atasan karena kedua belah pihak itu saling membutuhkan (interdependensi). Dalam etika suka sama suka juga tersirat adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia dalam arti yang luas. Secara sederhana, hak-hak pekerja harus mendapat perlindungan, kompetisi dalam setiap kehidupan dan profesi memang diakui dalam Islam, tetapi harus dengan cara yang sehat (fair), yang intinya tidak mengorbankan hak dan kepentingan orang lain,. d. Dilandasi akhlak dan mental yang baik. Setiap aktivitas atau pekerjaan yang islami harus dilandasi oleh akhlak yang mulia, karena itu para pekerja atau pegawai , pedagang ataupun pekerjaan lainnya harus mempunyai akhlak dan sikap mental yang baik. Hal ini dapat dianalogikan dari sabda Rasulullah SAW : “Pedagang yang jujur, benar lagi muslim kelak di hari kiamat akan bersama-sama para syuhada”. Buchari Alma, seorang usahawan sukses dari Jepang mengatakan bahwa untuk mencapai sukses dalam pekerjaan dan karir harus memenuhi 8 (delapan) persyaratan, yaitu :6 a. Kemauan yang keras (capacity for hard work), b. Mencapai tujuan dengan bantuan orang lain (geeting things done with ang through people), c. Penampilan yang baik ( good appearance), d. Keyakinan diri ( self confidence), e. Membuat keputusan ( making sound decision), f. Pendidikan (college education). g. Dorongan ambisi (ambition drive).dan h. Pintar berkomunikasi ( ability to communicate). Kedelapan syarat di atas, jika dikaji dari AlQur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam, sebenarnya sudah terlebih dahulu meletakan dasar- dasar etos dan etika kerja untuk kesuksesan umat, seperti yang terlihat dari Firman Allah Surat Ali Imran (3 : ayat 159) “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepadaNya)”. 6 Ibid, hlm 103 Ayat tersebut memberikan tuntunan bahwa kemauan keras untuk bekerja pada akhirnya harus berserah diri kepada Allah, manusia berencana, berkehendak dan berusaha sekeras mungkin, namun Allahlah yang memegang segala keputusaan. Dalam ayat ini juga memberi petunjuk bahwa setiap manusia harus memiliki keyakinan pada kemampuan diri sendiri ( confidence ), sehingga jika ada keyakinan akan timbul tekad yang kuat (azm) yaitu kebulatan hati untuk mencapai sesuatu. Tidak melakukan kecurangan. Islam sangat mencela perbuatan curang dalam praktek usaha atau dalam melaksanakan pekerjaan, karena akan merugikan dan membahayakan bagi orang lain. Setiap pekerjaan harus secara jujur, jauh dari kekurangan, berbagai bentuk kecurangan dilakukan oleh pribadi atau kelompok yang berpangkal dari kepribadian yang tidak dilandasi al-akhlaq Al Kariimah. Pembentukan akhlak melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal harus dapat diselenggarakan, terlebih jika dikaitkan dengan diutusnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul untuk memperbaiki akhlak manusia. Dan eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak, dan keruntuhan akhlak juga merupakan pertanda keruntuhan suatu bangsa. e. Menerapkan administrasi yang baik dan manajemen yang tepat. Administrasi yang baik dan manajemen yang tepat sangat menentukan keberhasilan seseorang ataupun kelompok, terutama dalam dunia yang telah modern seperti saat ini. Kedua-duanya betul-betul sangat menentukan kredibilitas seorang pekerja, organisasi ataupun lembaga. Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamallah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” ( Qs Al Baqarah ayat 282). f. Obyek pekerjaan/usaha yang halal Halal disini dari segi agama, artinya tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilarang oleh agama, misalnya memperjual belikan barang yang diharamkan oleh agama seperti minuman keras. Selain itu dilarang pula mengusahakan sesuatu yang lebih banyak mendatangkan mudharat, melainkan harus usaha atau pekerjaan yang mendatangkan banyak manfaat bagi dirinya dan masyarakat banyak. 3 Internalisasi Prinsip Islam Tentang Etika Kerja Dalam Perlindungan Hak Pekerja dan Pelaksanaan Hak atas Pekerjaan. Berlandaskan pada doktrin normatif Islam yang termuat dalam Al Qur’an dan Hadits, serta pengalaman-pengalaman historis, maka dalam konsep Islam dapat dirumuskan bahwa kerja merupakan hak dan kewajiban umat manusia sebagai realisasi ibadah kepada Allah SWT. Ada 4 hal yang merupakan hak dan kewajiban Pekerja dalam Islam, yaitu : 1. Hak bekerja, 2. Hak memperoleh gaji, 3. Hak cuti dan keringanan pekerjaan, 4. Hak memperoleh jaminan dan perlindungan,7 1. Hak Bekerja Islam menetapkan hak setiap individu untuk bekerja. Dalam Al Qur.an dikatakan : “…. Manusia tidak memperoleh sesuatu selain apa yang dikerjakannya” ( An Najm , ayat :32). Sebagai individu, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kedudukan yang setara untuk memperoleh pekerjaan dan meraih peluang kerja.8 Di atas semua itu, tentu saja hak tersebut harus diseimbangkan dengan potensi diri, kemampuan, pengalaman dan profesionalisme. Pesan Rasul berkaitan dengan perekrutan dan penempatan tenaga kerja sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah senang jika salah seorang diantara kamu mengerjakan suatu pekerjaan secara profesional”. Artinya, idealnya standar penempatan seorang pekerja itu didasarkan pada : prestasi, dedikasi dan profesionalisasi diri 2. Hak Memperoleh gaji/upah Bagaimana kadar gaji yang harus diterima oleh seorang pekerja? Menurut Islam, gaji pekerja harus disesuaikan dengan jenis pekerjaan. 7 Muhammad Syauqi Al Fanjari, seperti dikutip dari Duski Samad, Kerja Sebagai Ibadah, Pola Relasi Ibadah Vertikal-Horizontal, Madani, Jakarta, 1999, hlm 139 8 Q.S An-Nisa (Surat 4 :32): “Bagi laki-laki adalah bagian dari apa yang telah mereka usahakan, dan bagi perempuan juga bagian dari apa yang telah mereka usahakan pula”. Menurua Abdul Hamid9, jika Islam menetapkan gaji, maka ia juga menetapkan perbedaan jumlah gaji sesuai dengan jenis dan pentingnya pekerjaan itu. Hal tersebut paralel dengan Firman Allah yang mengatakan : “Dan bagi masing-masing mereka memperoleh derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S Al - Ahqaf, 46 :9). 3. Hak cuti dan keringanan Pekerjaan Dari sudut normatif Islam Allah berfirman : “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya”.()Q.S Al Baqarah , ,2 :286). Ayat ini menunjukkan bahwa selain manusia memiliki hak bekerja, tetapi dia juga memiliki hak untuk diperlakukan baik di lingkungan kerja, sehingga harus memiliki waktu beristirahat untuk jiwa dan fisiknya . Sebagai manusia, tiap orang memiliki kemampuan terbatas dalam menggerakkan tenaga dan fikirannya, maka untuk itu harus diatur waktu kerja yang layak, dan waktu libur. 4. Hak Memperoleh jaminan dan perlindungan. Selain hak-hak di atas, dalam dunia kerja saat ini, semakin dianggap penting jaminan keamanan, keselamatan dan kesehatan bagi para pekerja. Dasar dari hak atas perlindungan adalah hak atas hidup, Karena itu, hak ini juga dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia. Setiap manusia mempunyai hak asasi atas kehidupan dan tidak seorangpun yang berhak mencabutnya. Sebaliknya semua orang lain berkewajiban untuk menjaga dan menjamin hak tersebut. Suatu perusahaan atau lembaga mempunyai kewajiban moral untuk menjaga dan menjamin hak ini, setidaknya dengan mencegah kemungkinan terancamnya hidup para pekerja dengan menjamin hak atas perlindungan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja. Islam menempatkan hak ini sebagai esensi dari tiga hak sebelumnya, sehingga orang yang mengabaikannya sama saja denganmendustakan agama, begitu peringatan keras dalam Al Qur’an : “ Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin”. (Q.S Al Ma’un ayat :1). 9 Abdul Hamid Mursi, SDM Yang Produktif, Prndekatan Al Qur’an dan Sain, Jakarta, Gema Insani Press, 1997, hlm.113 Hak-hak yang dimiliki oleh pekerja tadi, tentu saja harus diimbangi juga dengan kewajiban. Maka selain mengatur hak-hak pekerja, Islam juga mengatur kewajiban-kewajiban primer yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja. Kewajiban itu antara lain : menegakkan amanah, memahami agama dan bidang kerja yang ditekuni. Menegakkan amanah merupakan modal. Tanpa sikap amanah, akan terjadi pekerja yang bersikap manipulatif dan koruptif, untuk itu menegakkan amanah pada saat seorang pekerjakan melaksanakan haknya untuk bekerja, menuntut dua sikap yaitu : kejujuran dan profesionalitas. PENUTUP Simpulan Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam kehidupan bekerja, seperti juga dalam segala bidang kehidupan, berlaku norma-norma umum, yaitu norma sopan santun, norma hukum dan norma moral. Ketiga norma tadi tidak dapat dilepaskan,masing-masing memiliki relevansi, yang paling penting adalah bahwa hukum sesungguhnya adalah positivasi norma moral, khususnya norma moral yang ditemukan dan belaku dalam masyarakat, karena itu hubungan antara norma hukum dan norma moral sangat dekat, lebih tepatnya norma moral menjiwai norma hukum atau norma hukum hanyalah kodifikasi norma moral.Dalam arti demikian, maka hukum itu sendiri harus baik, benar dan adil sesuai dengan jiwa moral itu sendiri. Adapun Etika kerja dalam Prinsip Islam menetapkan standar ideal penempatan seorang pekerja itu didasarkan pada : prestasi, dedikasi dan profesionalisasi diri. Dengan kata lain hak yang dimiliki seorang pekerja atau hak seorang manusia untuk melakukan pekerjaan selalu berhadapan dengan kewajiban menjunjung tinggi etika dalam kerja .
0 komentar:
Posting Komentar